Edukasi

Quo Vadis Pendidikan di Tengah Derasnya Teknologi Informasi

Oleh : Victor Silaban, M.Pd. - Pegiat Pendidikan

SERANG – Perkembangan teknologi informasi bergerak begitu cepat, seolah tanpa jeda. Gawai semakin canggih, internet semakin mudah dijangkau, dan berbagai aplikasi pembelajaran hadir bak jamur di musim hujan. Di tengah arus besar ini, pendidikan Indonesia menghadapi pertanyaan penting: ke mana arah pendidikan kita di era digital ini? Pertanyaan itu semakin relevan ketika kehidupan sehari-hari, termasuk proses belajar-mengajar, kini semakin bergantung pada teknologi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah membuka banyak peluang baru. Pelajar bisa belajar kapan saja, bahkan dari tempat yang jauh. Video pembelajaran, platform daring, hingga kecerdasan buatan (AI) membuat proses belajar lebih beragam dan menarik. Seorang siswa di daerah terpencil dapat mengakses materi yang sama dengan siswa di kota besar. Seperti pernah dikatakan John Dewey, tokoh pendidikan dunia, “Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, bukan sebaliknya.” Teknologi menjadi wujud nyata perubahan itu.
Namun di balik semua peluang tersebut, kita juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ketimpangan Akses Masih Menjadi Masalah
Harian dan laporan nasional sering menampilkan kenyataan bahwa akses internet di Indonesia belum merata. Daerah perkotaan mungkin menikmati sinyal kuat, tetapi di banyak desa, internet masih menjadi barang mewah. Tidak semua keluarga mampu menyediakan gawai untuk anak-anaknya. Bahkan ketika perangkat tersedia, sinyal sering kali hilang-timbul.
Jika persoalan ini tidak diatasi, digitalisasi pendidikan justru berpotensi memperlebarkan jurang ketimpangan. Anak-anak yang punya perangkat dan internet akan belajar lebih cepat; sementara yang tidak punya, tertinggal semakin jauh. Keadaan ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan.

Interaksi Manusia dalam Pendidikan Mulai Terkikis

Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan. Ia juga menyangkut pembentukan karakter, nilai, dan kemampuan sosial. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga pembimbing yang membentuk kepribadian siswa.

Namun ketika proses belajar lebih banyak dilakukan lewat layar, interaksi manusiawi itu mulai berkurang. Siswa cenderung fokus pada layar daripada mendengarkan guru. Banyak guru mengeluhkan menurunnya kesopanan, kedisiplinan, dan kemampuan komunikasi anak-anak yang terlalu lama berada dalam dunia digital.

- advertisement -

Psikolog pendidikan Paul Tough mengatakan bahwa karakter terbentuk bukan dari kata-kata, tetapi dari hubungan yang bermakna. Inilah sisi yang tidak bisa digantikan teknologi.

Guru Dituntut Beradaptasi, Tapi Tidak Semua Siap

Penggunaan teknologi dalam pendidikan menuntut guru untuk terus belajar. Banyak guru yang mulai mahir menggunakan aplikasi pembelajaran, presentasi digital, hingga evaluasi online. Namun tidak sedikit pula yang masih gagap teknologi.

Pelatihan memang sering diadakan, tetapi banyak guru yang merasa pelatihan tersebut terlalu singkat dan tidak mendalam. Ada juga yang terbebani oleh tuntutan administratif digital yang banyak menyita waktu. Pada akhirnya, teknologi yang seharusnya membantu malah menambah tekanan.

Padahal seperti dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidik adalah penuntun dalam hidup tumbuhnya anak.” Maka transformasi digital sudah seharusnya memperkuat peran guru, bukan meminggirkannya.

Ancaman Keamanan Data dan Konten Berbahaya

Kita juga berhadapan dengan persoalan keamanan digital. Banyak aplikasi yang mengumpulkan data pribadi siswa. Tanpa regulasi dan pengawasan yang kuat, data tersebut rawan disalahgunakan.

Selain itu, anak-anak mudah terpapar konten yang tidak mendidik: kekerasan, informasi palsu, hingga cyberbullying. Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya bagi siswa, tetapi juga guru dan orang tua. Mereka perlu memahami bagaimana memfilter informasi, menjaga privasi, dan bersikap bijak di ruang digital.

Menentukan Arah: Teknologi Sebagai Pendukung, Bukan Pengganti

Dengan segala peluang dan tantangan tersebut, kita perlu menetapkan arah yang jelas: teknologi harus menjadi pendukung, bukan pengganti pendidikan.

Ada beberapa langkah yang perlu diprioritaskan:

1. Pemerataan Akses Digital
Pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat pembangunan infrastruktur internet yang merata. Bantuan perangkat bagi siswa kurang mampu bisa menjadi langkah tepat, terutama di wilayah yang tertinggal.

2. Penguatan Kompetensi Guru
Guru adalah kunci keberhasilan pendidikan. Pelatihan yang berkelanjutan dan menyeluruh perlu diberikan agar mereka siap mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran tanpa kehilangan sentuhan humanis.

3. Integrasi Literasi Digital
Siswa perlu diajarkan etika digital, keamanan informasi, dan kemampuan memilah konten. Kurikulum harus memasukkan literasi digital sebagai kompetensi dasar.

4. Pendidikan yang Tetap Berpusat pada Manusia
Teknologi jangan sampai menenggelamkan nilai-nilai kemanusiaan. Interaksi tatap muka tetap dibutuhkan untuk membentuk karakter, rasa empati, dan kepekaan sosial siswa.

Penutup

Teknologi informasi membawa peluang besar bagi pendidikan Indonesia, tetapi juga menghadirkan risiko yang tidak kecil. Jika tidak diatur dengan baik, kita bisa terseret oleh arus digital tanpa arah yang jelas. Namun bila teknologi ditempatkan pada posisi yang tepat—yakni sebagai alat bantu, bukan tujuan utama—pendidikan kita dapat melangkah lebih maju.

Tantangannya kini bukan sekadar mengikuti perkembangan teknologi, tetapi memastikan teknologi benar-benar digunakan untuk mencerdaskan, memperluas akses, dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Jika keseimbangan ini dapat dijaga, pendidikan Indonesia dapat bergerak menuju masa depan yang lebih cerah, tanpa kehilangan jati dirinya.

Rekomendasi untuk Dibaca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Majalah Republik