Bullying dan Dampak Psikologis di Lingkungan Sekolah

Akhir-akhir ini bullying di lingkungan sekolah bukan lagi sekadar kenakalan remaja. Ia telah menjadi fenomena sosial yang menimbulkan luka mendalam, bukan hanya pada tubuh, tetapi juga pada jiwa. Ironisnya, perilaku ini sering kali dianggap “biasa saja” atau “bagian dari proses pendewasaan”. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa dampak psikologis bullying dapat bertahan hingga masa dewasa dan menghambat perkembangan sosial maupun akademik seseorang.
Dalam survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perundungan masih menjadi salah satu laporan tertinggi setiap tahun. Psikolog perkembangan, dr. Seto Mulyadi, berkali-kali menegaskan bahwa bullying adalah bentuk kekerasan yang merusak karakter anak, karena menciptakan rasa rendah diri, kecemasan sosial, bahkan depresi. Menurutnya, sekolah seharusnya menjadi ruang aman, bukan arena di mana anak belajar bertahan dari kekerasan.
Dampak Psikologis yang Tak Terlihat, Tapi Sangat Nyata
Bullying memiliki efek domino yang sering tidak tampak di permukaan. Korban mungkin tetap tersenyum, tetap hadir di kelas, dan tetap mengerjakan tugas, tetapi di dalam dirinya ada luka psikologis yang berdenyut.
Pertama, rasa takut dan kecemasan. Banyak korban merasa was-was setiap kali berada di lingkungan sekolah. Mereka cenderung menarik diri, menghindari interaksi, dan sulit berkonsentrasi. Hal ini berdampak langsung pada prestasi belajar.
Kedua, hilangnya kepercayaan diri. Ketika seorang anak terus-menerus menjadi sasaran ejekan atau intimidasi, citra dirinya ikut hancur. Ia mulai percaya bahwa dirinya memang tidak layak diterima atau dihargai. Efek ini dapat terus terbawa hingga remaja bahkan dewasa.
Ketiga, gangguan mental jangka panjang. Studi dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa korban bullying berisiko lebih tinggi mengalami depresi, gangguan kecemasan, bahkan trauma kompleks (complex PTSD). Trauma ini memengaruhi kemampuan seseorang membangun relasi sehat di masa depan.
Keempat, perilaku agresif pada korban maupun pelaku. Tidak sedikit korban yang pada akhirnya melampiaskan rasa sakitnya dalam bentuk agresi terhadap orang lain atau dirinya sendiri. Sementara pelaku bullying, menurut pakar pendidikan Prof. Arief Rachman, sering kali tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah secara sosial bila perilakunya tidak dihentikan sejak dini.
Mengapa Bullying Terjadi?
Bullying tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kombinasi budaya, lingkungan, dan kurangnya pengawasan. Beberapa faktor yang paling sering ditemukan adalah:
- Budaya senioritas di sekolah, terutama di tingkat SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa.
- Kurangnya literasi emosional, baik pada siswa maupun guru.
- Minimnya intervensi cepat karena kejadian bullying sering dianggap “urusan anak-anak”.
- Lingkungan keluarga yang penuh konflik, yang kemudian direproduksi anak di sekolah.
- Jika faktor-faktor ini tidak dibenahi, maka bullying akan terus menjadi siklus yang diwariskan.
- Peran Sekolah dan Guru: Garda Terdepan
Sekolah memiliki peran strategis dalam memutus rantai bullying. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing yang mengawal perkembangan sosial anak. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
1. Membangun budaya sekolah yang ramah dan inklusif
Ini dapat dimulai dari kebiasaan sederhana, seperti menyapa siswa, memberikan ruang aman untuk bercerita, hingga menciptakan aturan anti-bullying yang tegas dan disosialisasikan sejak awal tahun ajaran.
2. Pelatihan literasi emosional untuk guru dan siswa
Psikolog pendidikan menyarankan agar guru dibekali kemampuan mendeteksi tanda-tanda korban bullying: perubahan perilaku, nilai menurun, atau sering menyendiri. Program seperti peer counseling juga terbukti efektif membantu siswa saling mendukung.
3. Penegakan disiplin yang adil, bukan represif
Pelaku bullying perlu diberikan konsekuensi, tetapi juga pendampingan. Banyak pelaku adalah anak-anak yang sedang mencari identitas atau datang dari lingkungan rumah yang bermasalah.
Peran Orang Tua: Fondasi Pertama
Orang tua memegang peran besar dalam mencegah bullying. Mereka perlu membangun komunikasi terbuka dengan anak, memberi ruang bagi anak untuk bercerita tanpa takut dihakimi, dan menjadi contoh dalam bersikap.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan orang tua antara lain:
*Mengajarkan empati sejak dini. Anak yang mampu merasakan emosi orang lain cenderung tidak menjadi pelaku bullying
*Mengawasi penggunaan media sosial, karena cyberbullying kini menjadi bentuk perundungan yang paling cepat menyebar
*Menyediakan dukungan emosional jika anak menjadi korban. Validasi perasaan anak jauh lebih penting daripada memberikan solusi cepat.
Membangun Ekosistem Anti-Bullying
Solusi jangka panjang tidak cukup hanya memperbaiki perilaku individu. Kita perlu membangun ekosistem pendidikan yang menolak bullying secara kolektif. Beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:
*Mendirikan unit layanan psikologi sekolah yang mudah diakses
*Konseling yang baik dapat menyelamatkan banyak siswa dari trauma berkepanjangan
*Menerapkan kebijakan “zero tolerance” secara konsisten tanpa memandang status sosial siswa atau keluarga.
*Kolaborasi sekolah–orang tua–masyarakat
*Tokoh masyarakat, aktivis pendidikan, dan pihak gereja atau komunitas lokal dapat terlibat dalam kampanye anti-bullying
*Program pembinaan karakter yang tidak hanya teoritis, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sekolah sehari-hari.
Penutup
Bullying adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian bersama. Jangan lagi menganggapnya sebagai bagian dari candaan atau tradisi. Setiap anak berhak tumbuh di lingkungan yang aman, dihargai, dan dicintai. Ketika kita berbicara tentang masa depan bangsa, sesungguhnya kita berbicara tentang kesehatan mental anak-anak kita hari ini.
Jika sekolah, orang tua, dan masyarakat bahu-membahu, budaya bullying dapat diputus. Inilah saatnya kita berdiri, menyatakan bahwa tidak ada bentuk kekerasan apa pun yang pantas dibiarkan, terlebih di tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh: sekolah.







