Kepgub Mandek Truk Odol Terus Melaju : Ujian Kepemimpinan di Banten

SERANG – Keputusan Gubernur Banten Nomor 567 Tahun 2025 tentang pembatasan jam operasional truk tambang sejatinya dimaksudkan sebagai upaya menertibkan lalu lintas, melindungi keselamatan warga, dan mengurangi kerusakan jalan Nasional. Namun beberapa pekan setelah aturan itu diteken, publik justru melihat pemandangan yang sama. truk-truk bertonase besar tetap melintas di siang hari, debu masih mengepul di sepanjang jalan Bojonegara-Merak, dan masyarakat masih menanggung risiko kecelakaan yang tidak perlu.
Aturan itu terasa seperti sekadar deklarasi, bukan instrumen pemerintah yang memiliki daya paksa.
Truk Tambang Melaju, Kebijakan Mandek
Di atas kertas, Kepgub 567/2025 menetapkan jam operasional khusus, mewajibkan penutup terpal, pembatasan tonase, Kebersihan kendaraan, hingga koordinasi lintas instansi.
Namun implementasinya jauh dari harapan. Truk masih berkeliaran di luar jam yang ditetapkan. Bahkan tidak ada pengawasan dari instansi terkait, yang semestinya menjadi garda terdepan penertiban. Ini bukan sekadar pembangkangan sopir atau perusahaan tambang. Akar masalahnya lebih kompleks yaitu penegakan hukum yang lemah, koordinasi yang tidak solid, dan insentif ekonomi yang besar bagi pihak yang memilih melanggar.
Jika risiko pelanggaran rendah sementara keuntungan berjalan 24 jam tinggi, maka aturan akan terus dianggap sebagai angin lalu.
Kepgub Tanpa Taji
Salah satu cacat paling mendasar dari Kepgub ini adalah ketiadaan penjabaran sanksi operasional yang tegas dan terukur. Aturannya memang merujuk pada UU LLAJ dan perda perhubungan, tetapi rujukan semacam itu tidak berarti apa-apa tanpa mekanisme penindakan yang konkrit. Tanpa prosedur jelas siapa menindak, kapan, bagaimana, dan apa konsekuensinya. Kepgub ini pada akhirnya hanya menjadi pernyataan niat baik, bukan alat kekuasaan yang bisa memaksa kepatuhan.
Ketiadaan kejelasan itu membuka ruang abu-abu yang sangat luas dan sangat berbahaya. Aparat di lapangan ragu menerapkan tindakan karena batasan kewenangannya kabur. Pemerintah kabupaten/kota merasa tidak punya kewajiban penuh untuk patuh karena penjabaran teknis tidak mengikat unit pelaksana di wilayah mereka.
Sementara itu, perusahaan tambang dengan mudah membaca celah tersebut, menimbang risiko yang hampir nihil, dan melanjutkan praktik yang melanggar aturan tanpa rasa gentar.
Kepgub seharusnya menutup celah, bukan malah menyediakannya. Sebuah keputusan gubernur tidak boleh berhenti pada kalimat normatif yang manis dibaca namun kosong di lapangan. Ketiadaan mekanisme sanksi yang jelas bukan hanya kelemahan teknis itu adalah kelalaian struktural yang meruntuhkan efektivitas kebijakan dan melemahkan otoritas pemerintah itu sendiri.
Lemahnya penegakan Hukum
Lebih jauh dari sekadar teknis penegakan, persoalan ini menyentuh aspek wibawa institusi. Sebuah aturan yang tidak dipatuhi berarti otoritas pengambil keputusan tidak dihormati. Dalam konteks pemerintahan daerah, ini berarti kelonggaran terhadap ketidakpatuhan dan berpotensi merusak citra kepemimpinan gubernur.
Masyarakat tentu bertanya:
Untuk apa ada Kepgub jika tidak dijalankan? Mengapa aparat tidak seragam? Apakah pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan sektor tambang?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggoyahkan legitimasi moral pemerintah di mata publik.
Penegakan pembatasan operasional truk tambang hanya dapat berjalan efektif jika pemerintah menerapkan langkah-langkah yang menyentuh inti permasalahan di lapangan.
Pertama, sanksi harus ditegakkan secara tegas dan konsisten, bukan sekadar tertulis di atas kertas. Denda progresif memberi konsekuensi ekonomi yang meningkat setiap kali terjadi pelanggaran, sehingga perusahaan tidak lagi melihat ketidakpatuhan sebagai pilihan murah. Lebih jauh, penundaan atau pembekuan izin operasional menjadi sinyal keras bahwa pemerintah tidak menoleransi perilaku yang membahayakan keselamatan publik dan merusak infrastruktur.
Kedua, pengawasan tidak cukup dilakukan dengan patroli insidental yang hanya muncul sewaktu-waktu. Diperlukan pos pengawasan permanen di titik-titik rawan: pintu keluar tambang, simpang penghubung, serta jalur utama yang selama ini menjadi lokasi pelanggaran. Kehadiran pos yang beroperasi sepanjang hari memungkinkan petugas melakukan pemeriksaan tonase, memastikan bak truk tertutup terpal, memantau jam operasional, dan melakukan penindakan langsung apabila terjadi pelanggaran. Pos permanen bukan hanya fasilitas teknis, tetapi simbol kehadiran negara yang nyata.
Ketiga, upaya penegakan harus didukung oleh teknologi yang objektif dan tidak dapat dimanipulasi. Pemasangan CCTV di titik strategis memungkinkan setiap pelanggaran direkam tanpa celah. Sistem e-tilang dapat mengirimkan bukti pelanggaran langsung kepada perusahaan, mengurangi kontak fisik antara petugas dan sopir, sekaligus mempercepat proses hukum. Sementara itu, sensor beban otomatis (weigh-in-motion) mampu mendeteksi kendaraan yang kelebihan muatan tanpa harus menghentikan kendaraan, membuat proses pengawasan lebih efisien dan akurat.
Keempat, pemerintah perlu menerapkan prinsip transparansi melalui penerbitan daftar perusahaan pelanggar secara publik. Langkah ini bukan untuk mempermalukan, tetapi menciptakan tekanan sosial dan reputasional. Perusahaan yang masuk daftar hitam akan mendapatkan sorotan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga dipaksa memperbaiki perilaku. Sebaliknya, perusahaan yang patuh akan mendapat nilai positif dan kepercayaan publik.
Transparansi menjadi alat penting untuk membangun budaya kepatuhan yang berkelanjutan.
Penutup
Melalui kombinasi penegakan sanksi yang kuat, pengawasan permanen, teknologi yang objektif, dan transparansi publik, regulasi tidak lagi berhenti sebagai deklarasi. Ia berubah menjadi kebijakan yang hidup, memberi perlindungan nyata bagi masyarakat, dan memulihkan wibawa pemerintah di mata publik.
Kebijakan hanya memiliki nilai ketika ia dijalankan. Tanpa itu, masyarakat bukan hanya dirugikan secara fisik dan ekonomi, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya.
Gubernur bukan hanya pejabat yang menandatangani keputusan; ia adalah pemimpin yang harus memastikan setiap kebijakan bekerja, ditegakkan, dan berdampak. Ketika sebuah Kepgub hanya berhenti sebagai teks yang dibacakan di konferensi pers, maka sesungguhnya pemerintahlah yang sedang mundur, bukan truk tambang yang melaju semaunya. Aturan yang tidak dijalankan adalah bentuk kegagalan control dan kegagalan kontrol adalah kegagalan kepemimpinan.
Saat Kepgub berubah menjadi deklarasi belaka, konsekuensinya jauh lebih besar dari sekadar debu di jalan atau tonase yang berlebihan. Yang rusak adalah kepercayaan publik. Yang tergerus adalah martabat pemerintah. Dan yang paling disorot adalah ketidakmampuan pemimpin daerah menegakkan kewibawaannya sendiri. Sebab apa gunanya sebuah keputusan jika para pelaku usaha bisa mengabaikannya tanpa rasa takut? Apa arti otoritas gubernur jika instruksinya tidak ditindaklanjuti oleh aparat di bawahnya?
Masyarakat sudah kenyang dengan janji. Mereka tidak membutuhkan pidato atau seremonial tanda tangan. Mereka membutuhkan tindakan penindakan yang nyata, pengawasan yang konsisten, dan keberanian politik untuk menertibkan sektor yang selama ini merasa kebal. Tanpa itu, setiap regulasi akan terus menjadi poster moral yang ditertawakan di jalan raya.
Publik menunggu, dan waktu untuk bertindak semakin sempit.
Ini bukan lagi soal truk tambang ini soal apakah seorang gubernur masih mampu menunjukkan bahwa pemerintahannya memiliki taring.
Penulis Adalah Mahasiswa/i Universitas Pamulang PSDKU Kota Serang, Prodi Ilmu Pemerintahan. (Rzl)







